Friday, August 19, 2011

Arti perkawinan menurut UU No.1 tahun 1974 dan menurut KUH Perdata/BW


            I. Arti perkawinan menurut UU No.1 tahun 1974 dan menurut KUH Perdata/BW

Perkawinan, diatur KUHPdt/BW dalam titel IV buku 1 dari Pasal 26 dan seterusnya, serta dalam UU No.1/1974 beserta peraturan pelaksanaannya.

            UU No.1/1974 tentang perkawinan, dalam Pasal 1 memuat pengertian tentang perkawinan ialah “ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istrei dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan keTuhanan Yang Maha Esa”.

            Sedangkan ketentuan-ketentuan yang tedapat dalam KUHPdt/BW tidak ada satu Pasal pun yang memberikan pengertian tentang arti perkawinan itu sendiri. oleh karena itulah, maka untuk memahami arti perkawinan kita melihat pada ilmu pengetahuan / pendapat para sarjana. Ali Afandi, mengatakan bahwa, “ perkawinan adalah suatu persetujuan kekeluargaan”. Persetujuan kekeluargaan yang dimaksud disitu bukanlah seperti persetujuan biasa, tetapi mempunyai cirri-ciri tertentu.

            “Perkawinan adalah hubungan hukum antara seorang pria dan seoreang wanita untuk hidup bersama dengan kekal, yang diakui oleh negara”.(Scholten, kutipan Prawiro Hamidjojo dan Safioedin, 1982, hlm 31.)

            KUHPdt/BW memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata (Pasal26). Hal ini berarti bahwa undang-undangnya mengakui perkawinan perdata ialah perkawinan yang sah, yaitu perkawinan yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam KUHPdt/BW, sedang syarat-syarat atau ketentuan agama tidaklah diperhatikan/dikesampingkan.

            Menurut K. Wantjik Saleh, arti perkawinan adalah “ ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri”. Lebih lanjut beliau mengatakan ikatan lahir batin itu harus ada. Ikatan lahir mengungkapkan hubungan formal, sedang ikatan batin merupakan hubungan yang tidak formal, tak dapat dilihat. namun harus tetap ada, sebab tanpa ikatan batin ikatan lahir akan rapuh. Ikatan lahir batin menjadi dasar utama pembentukan dan pembinaan keluarga bahagia dan kekal.

            Dari uraian diatas diketahui bahwa rumusan dalam Pasal 1 UU No.1 th 1974 merupakan rumusan perkawinan yang telah disesuaikan dengan masyarakat Indonesia, dasar falsafah negara Pancasila dan UUD 1945.


            II. Hakikat, Asas, Sifat , Syarat, Dasar, dan Tujuan Perkawinan menurut UU No.1/1974 dan menurut KUHPdt/BW
           
            Menurut UU No.1/1974 hakikat perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri. Dari rumusan diatas jelaslah bahwa ikatan lahir dan batin harus ada dalam setiap perkawinan. Terjalinnya ikatan lahir dan batin merupakan fondasi dalam membentuk dan membina keluarga yang bahagia dan kekal.

            Dengan demikian, bahwa hakikat perkawinan itu bukan sekedar ikatan formal belaka, tetapi juga ikatan batin. Hendaknya pasangan yang sudah resmi sebagai suami istri juga merasakan adanya ikatan batin, ini harus ada sebab tanpa itu perkawinan tak akan punya arti, bahkan akan menjadi rapuh. Hal ini lah yang membedakan dengan haikat perkawinan menurut KUHPdt/BW. Apabila kita membaca KUHPdt dapat diketahui bahwa hakikat perkawinan adalah merupakan hubungan hukum antara subjek-subjek yang mengikatkan diri dalam perkawinan (dalam hal ini yang dimaksud adalah antara seorang pria dan seorang wanita). Hubungan tersebut didasarkan pada persetujuan diantara mereka dan dengan adanya tujuan tesebut mereka menjadi terikat. Persetujuan yang dimaksud disini bukanlah persetujuan yang terdapat dalam buku III KUHPdt/BW, walaupun antara persetujuan dalam perkawinan dan persetujuan umumnya tedapat unsur yang sama yaitu adanya ikatan antara dua belah pihak, tetapi ada perbedaan yaitu dalam bentuk hal dan isi.

            Asas perkawinan adalah monogami, bahwa dalam waktu yang sama seorang laki-laki hanya dioperbolehkan mempunyai satu orang perempuan sebagai istrinya, dan seorang perempuan hanya boleh mempunyai satu orang laki-laki sebagai suaminya. hal ini tercantum dalam Pasal 3 UU No.1/1974 dan juga pada Pasal 27 KUHPdt/BW.

            Dengan adanya asas monogami serta tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, maka suatu tindakan yang akan mengakibatkan putusnya suatu perkawinan (dalam hal ini yang dimaksud adalah perceraian) harus benar-benar dipikirkan serta dipertimbangkan masak-masak. Sebab jika itu terjadi maka akan membawa akibat yang luas, tidak hanya menyagkut diri suami atau istri tetapi nasib anak-anak juga harus diperhatikan. dengan demikian diharapkan pula agar tidak begitu mudah melangsungkan perkawinan serta begitu mudah bercerai (kawin-cerai berulang-ulang).

Adapun jika seorang pria ingin mempunyai lebih dari satu istri sepanjang hukum agamanya mengijinkan dan telah memenuhi syarat-syarat yang tercantum dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 5 UU No.1/1974 yaitu :
a.       Adanya perjanjian dari istri/istri-istri, perjanjian dari istri/istri-istri tidak diperlukan ketika sang istri/istri-istri merupakan pihak yang tidak dapat melakukan perjanjian atau jika dalam waktu sekurang kurangnya 2 (dua) tahun tidak ada kabar dari sang istri, atau karena sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari hakim pengadilan.
b.      Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.
c.       Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil kepada istri-istri dan anak-anak mereka.
Sedangkan dari Pasal 27 dan 28 KUHPdt/BW tampaklah bahwa asas perkawinan adalah monogami serta menganut adanya asas kebebasan kata sepakat diantara para calon suami istri melarang adanya poligami. Adanya asas monogami sebenarnya asas yang dianut dalam perkawinan Kristen, sedangkan KUHPdt/BW sendiri lahir di dunia barat yang mayoritasnya Kristen, maka wajarlah jika dalam perkawinan pun dianut asas monogami.

            Sifat perkawinan menurut UU No.1/1974 kiranya sama dengan sifat perkawinan menurut KUHPdt/BW. Jika kita kaitkan dengan tujuan perkawinan (Pasal 1 UU No.1/1974), maka sifat tersebut adalah logis dan layak, sebab kebahagiaan akan tercapai jika ikatan lahir batin betul-betul didasarkan atas kesepakatan, tidak ada bentuk paksaan dalam bentuk apapun dari siapa pun juga.

Adapun syarat perkawinan tercantum dalam Bab II, Pasal 6 sampai dengan 12 UU No.1/1974, antara lain:
a.       Adanya persetujuan kedua calon mempelai;
b.      Adanya izin kedua orang tua/wali bagi calon mempelai yang belum berusia 21 tahun.

Ø  Bagi yang akan melangsungkan perkawinan dan usianya belum mencapai 21 tahun maka harus mendapat izin dari kedua orang tua, bukan bapak atau ibu ( tidak hanya mendapat izin dari pihak bapak saja atau pihak ibu saja, tetapi kedua belah pihak) (ayat 2 ).
Ø  Jika salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak dapat menyatakan kehendaknya, maka izin cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu manyatakan kehendaknya (ayat 3).
Ø  Jika kedua orang tua telah meninggal atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup dan dapat menyatakan kehendaknya (ayat 4).
Ø  Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2),(3) dan (4) Pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah terlebih dahulu mendengar orang-oreng tesebut dalam ayat (2),(3) dan (4) Pasal ini (ayat 5).
Ø  Ketentuan-ketentuan tersebut, yaitu mulai dari ayat (1) sampai dengan ayat (5) Pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain (ayat 6).

c.       Usia minimal bagi pria yang ingin melangsungkan perkawinan adalah 19 tahun sedangkan bagi wanita 16 tahun.
d.      Antara calon mempelai pria dan wanita tidak ada hubungan darah / keluarga yang mengakibatkan tidak boleh melangsungkan perkawinan.
Perkawinan dilarang antara dua orang karena:
1)      Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah ataupun keatas, misalnya dalam garis keturunan lurus keatas adalah: seseorang denga ibu/ayahnya, dengan nenek/kakeknya. Dalam garis keturunan lurus kebawah adalah: seseorang dengan anaknya, dengan cucunya atau bahkan dengan cicitnya. (dalam hal garis keturunan lurus keatas atau kebawah yang dimaksud adalah hubungan asli/kandung)
2)      Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seseorang dengan saudara orang tua, dan antara seseorang dengan saudara neneknya.
3)      Berhubungsn semenda, yaitu seorang dengan mertua, seorang dengan anak tiri, seorang dengan menantu, dan seorang dengan ibu/bapak tiri.
4)      Berhubungan susuan, yaitu seorang dengan orang tua susuan, seorang dengan anak susuan, seorang dengan saudara susuan, dan seorang dengan paman/bibi susuan.
5)      Berhububugan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan istri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang.
6)      Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain dilarang kawin.

e.       Tidak berada dalam ikatan perkawinan dengan pihak lain.
f.       Bagi suami istri yang telah cerai lalu kawinlagi satu sama lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, agama dan kepercayaan mereka tidak melarang mereka kawin untuk yang ketiga kalinya.
g.      Tidak berada dalam waktu tunggu bagi calon mempelai wanita yang janda.
Syarat-syarat tersebut di atas menyangkut pribadi-pribadi yang akan melangsungkan perkawinan.

            Perkawinan supaya dianggap sah, harus memenuhi syarat-syarat yang dikehendaki undang-undang, yaitu:
1.      Syarat materil (inti) terdiridari:
·         Syarat materil absolute (mutlak)
Syarat material absolute adalah syarat yang mengenai pribadi seseorang yang harus diindahkan untuk perkawinan pada umumnya. syarat ini meliputi :
a.       Asas monogami (Pasal 27 KUHPdt/BW).
b.      Persetujuan antara kedua calon suami istri.
c.       Batas usia minimal untuk dapat melangsungkan perkawinan yaitu: laki-laki 18 tahun, dan perempuan 15 tahun (Pasal 29 KUHPdt/BW).
d.      Bagi seorang perempuan yang pernah kawin dan hendak kawin lagi harus mengindahkan waktu 300 hari setelah perkawinan yang dahulu dibubarkan (Pasal 34 KUHPdt/BW).
e.       Untuk kawin diperlukan ijin dari sementara orang (Pasal 35-49 KUHPdt/BW)

·         Syarat material relative (nisbi)
Syarat material relative adalah mengenai ketentuan-ketentuan yang merupakan larangan bagi seseorang untuk kawin dengan orang tertentu. ketentuan tersebut meliputi :
a.       Larangan untuk kawin dengan orang yang sangat dekat didalam kekeluargaan sedarah atau karena perkawinan (Pasal 30-31 KUHPdt/BW).
b.      Larangan untuk kawin dengan orang, dengan siapa orang itu pernah melakukan zina (Pasal 32 KUHPdt/BW).
c.       Larangan memperbaiki perkawinan setelah adanya perceraian jika belum lewat waktu 1 (satu) tahun (Pasal 33 KUHPdt/BW).

2.      Syarat formal (syarat lahir).
Syarat formal dibagi dalam:
1)      Syarat syarat yang harus dipenuhi sebelum perkawinan dilangsungkan:
a)      Pemberitahuan tentang maksud untuk kawin.
b)      Pengumuman tentang maksud untuk kawin(Pasal 50-57 KUHPdt/BW).

2)      Syarat-syarat yang harus dipenuhi bersamaan dengan dilangsungkannya perkawinan agar perkawinan tersebut menjadi sah.
III. Pencegahan Perkawinan menurut UU No.1/1974 dan menurut KUHPdt/BW

Pencegahan perkawinan diatur dalam UU No.1/1974, dalam Pasal 13 sampai dengan 21. Tetapi dari Pasal-Pasal tersebut tidak ada suatu Pasal pun yang mencantumkan pengertian pencegahan perkawinan. pengertian pencegahan perkawinan dapat ditemukan dari pendapat para sarjana.

            Yang dimaksud pencegahan perkawinan (menghalang-halangi perkawinan atau stuiten de huwelijk) atau stuting ialah suatu usaha untuk menghindari adanya sebuah perkawinan yang bertentangan  dengan ketentuan-ketentuan undang-undang yang ada.( Prawirohamidjojo, dan Safioedin, 1982).

            Pasal 13 jo 20 UU No. 1/74 menentukan bahwa perkawinan dapat dicegah, apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.

            Siapa-siapa yang dapat melakukan pencegahan, hal itu diatur dalam undang undang dan dari Pasal-Pasalnya dapat disimpulkan bahwa yang berhak melakukan pencegahan ialah selain salah satu pihak yang melangsungkan perkawinan itu sendiri, pencegahan dapat dilakukan oleh bapak/ibu atau keluarga sedarah, wali, pengampu, pejabat yang ditunjuk. Tentu saja untuk dapat melakukan pencegahan haruslah dipenuhi syarat syarat tertentu, dan pengadilan negerilah yang berwenang memutuskan permohonannya. Dalam KUHPdt pejabat yang ditunjuk adalah Jaksa.

            Pasal 14 sampai dengan16 UU No.1/1974 mengatur mengenai siapa siapa yang dapat melakukan pencegahan perkawinan. dari ketentuan ketentuan tersebut dapat diketahui orang orang yang dapat mencegah perkawinan.antara alin :
1)      Para keluarga dalam keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari salah seorang calon mempelai.
2)      Saudara dari salah seorang calon mempelai.
3)      Wali nikah dari salah seorang calon mempelai.
4)      Wali dari salah seorang calon mempelai.
5)      Pengampu dari salah seorang calon mempelai.
6)      Pihak p[ihak yang berkepentingan.
7)      Suami atau istri dari salah seorang calon mempelai.
8)      Pejabat yang ditunjuk untuk melakukan pencegahan.
Sebelum perkawinan dilangsungkan disyaratkan adanya dua tindakan yang harus
dilakukan (Pasal 2 sampai dengan 9 PP 9/1975), yaitu Pemberitahuan dan Pengumuman. Tujuan dari pengumuman ialah agar sebelumnya diketahui oleh umum, dalam hal ini terutama oleh mereka yang mempunyai wewenang mencegah perkawinan, kiranya mereka itu akan meggunakan haknya.

            Pencegahan perkawinan diajukan kepada pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan akan dilangsungkan dengan memberitahukan kepada pegawai pencatat perkawinan (Pasal 17 UU No.1/1974). Ketentuan tersebut menuntukan pula adanya kompetensi relative dari pengadilan. Melalui pegawai pencatat perkawinan kemudian pencegahan tersebut diberitahukan kepada para calon mempelai. Jika perkawinan terlanjur dilaksanakan itu pun bisa dibatalkan.

            Walaupun pencegahan perkawinan terlanjur diajukan ke pengadilan namun masih dimungkunkan untuk ditarik kembali atau dapat dicabut dengan putusan pengadilan (Pasal 18 UU No.1/1974).

IV. Pembatalan Perkawinan menurut UU No.1/1974 dan menurut KUHPdt/BW

Batalnya perkawinan diatur dalam Pasal 85 sampai dengan 99a KUHPdt/BW serta Pasal 22 sampai 28 UU No.1/1974 dan Peraturan Pemerintah No.9/1975 tentang pelaksanaan UU No.1/1974 Pasal 37-38.

            Pasal 22 sampai 28 UU No.1/1974 mengatur mengenai batalnya perkawinan. Tetapi jika dibaca ketentuan-ketentuan tersebut kita tidak akan menjumpai mengenai pengertian tentang batalnya perkawinan, bahkan undang-undang menegaskan bahwa batal disini dalam konteks pengertian dapat dibatalkan (vernietig baar) bukanya batal/batal demi hukum (nietig). Jadi harus didahului dengan permohonan pembatalan yang diajukan oleh pihak-pihak yang berhak dan disertai dengan alasan-alasan yang dapat dipakai sebagai pengajuan permohonan tersebut. Dalam penjelasan Pasal 22 UU No.1/1974, pengertian “dapat” itu diartikan bisa batal atau bisa tidak batal, bilamana menurut ketentuan hukum agamanya masing-masing tidak menentukan lain.

            Mengenai siapa saja yang dapat mengajukan permohonan pembatan perkawinan, hal ini diaturkan dalam Pasal 23 sampai dengan 27 UU No.1/1974, yaitu:
1)      Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas suami atau istri.
2)      Suami atau istri.
3)      Pejabat yang berwenang.
4)      Pejabat yang ditunjuk.
5)      Jaksa.
6)      Orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut. tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.
(Syahrani, 1985, hlm.96)
            Pembatalan perkawnan hanya dapat diputuskan pengadilan dan permohonan pembatan itu diajukan oleh pihak yang berhak mengajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat berlangsungnya perkawinan atau di tempat tinggal kedua suami istri.

            Pasal 28 UU No.1/1974 menentukan bahwa batalnya suatu perkawinan dimulai setelah putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan. Selanjutnya Pasal 28 ayat 2 UU No.1/1974 menyebutkan bahwa keputusan tidak berlaku surut terhadap :
a)      Anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. Hal ini berarti bahwa mereka itu tetap berstatus sebagai anak sah, walaupun perkawinan orang tua mereka dibatalkan.
b)      Suami istri yang bertindak dengan etiket baik kecuali terhadap harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu.
c)      Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam a dan b sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan etiket baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap.
Mengenai siapa saja yang tidak boleh melakukan pembatalan, UU No.1/1974 tidak mengaturnya, tetapi hal ini diatur dalam Pasal 93 KUHPdt/BW adapun pihak yang dimaksud yaitu:
a)      Anggota keluarga dalam garis keturunan kesamping.
b)      Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan lain.
c)      Orang lain yang bukan keluarga selama suami istri masih hidup.

V. Akibat Hukum dari Perkawinan

A. Akibat Hukum dari Perkawinan terhadap Suami Istri menurut UU No.1/1974 dan KUHPdt/BW

Pasal 30 sampai dengan 34 UU No.1/1974, yang isinya:
1.      Suami istri memikul kewajiban hukum untuk menegakan rumah tangga yang menjadi sendi dasar susunan masyarakat.
2.      Suami istri wajib saling cinta mencintai, hormat-menghormati, setia dan memberi bantuan lahir-batin yang satu kepada yang lain.
3.      Hak dan kedudukan istri seimbang dengan suami dalah kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama masyarakat.
4.      Suami istri sama-sama berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
5.      Suami adalah kepala rumah tangga dan istri adalah ibu rumah tangga. Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan rumah tangga sesuai dengan kemampuannya dan istri wajib mengurus rumah tangga dengan sebaik-baiknya.
6.      Suami istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap, yang ditentukan secara bersama. (Syahrani,1985,hlm.98).
Akibat lain yang timbul dari hubungan suami istri yang terdapat dalam KUHPdt/BW:
1.      Suami istri wajib tinggal bersama dalam satu rumah. Istri harus tunduk patuh kepada suaminya, ia wajib mengikuti kemana suami memandang baik untuk bertempat tinggal.
2.      Suami wajib menerima istrinya dalam satu rumah, yang ia diami. Suami juga wajib melindungi istrinya dan member padanya segala apa yang perlu dan berpanutan dengan kedudukan dan kemampuannya.
3.      Suami istri saling mengikatkan diri secara timbale balik untuk memelihara dan mendidik anak-anak.
B. Akibat Hukum dari Perkawinan terhadap Harta Perkawinan menurut UU No.1/1974 dan menurut KUHPdt/BW

            Pasal 35 UU No.1/1974 menyebutkan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
            KUHPdt/BW (Pasal 119 sampai dengan 121) berbunyi: jika tidak ada perjanjian kawin maka terjadi persatuan bulat demi hukum, sehingga baik harta bawaan maupun harta yang didapat selama perkawinansemuanya menjadi harta persatuan.

C. Akibat Hukum dari Perkawinan terhadap Keturunan menurut UU No.1/1974 dan menurut KUHPdt/BW

            Mengenai keturunan juga diatur dalam UU No.1/1974 dalam Bab IX, Pasal 42 sampai dengan 44. UU No.1/1974 mengenal adanya anak sah ialah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah (Pasal 42). Hal itu berarti anak yang dilahirkan diluar perkawinan yang sah adalah anak yang tidak sah. Apa yang diatur oleh UU No.1/1974 tentang anak sah (dan anak tidak sah sebagai konsekuensi sebaliknya) tidaklah berbeda dengan yang ada dalam KUHPdt/BW. Bagi seorang anak yang tidak sah UU No.1/1974 menentukan bahwa anak itu hanya mempunyai hubungan dengan ibunya dan keluarga ibunya (Pasal 43 ayat 1). Dengan demikian ia hanya dapat mewaris harta atas peninggalan ibunya.
            Seorang suami dapat melakukan penyangkalan atas sahnya anak yang dilahirkan dari istrinya, bilamana ia dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan anak itu akibat dari perzinaan tersebut (Pasal 44 ayat (1) UU No.1/1974), jika dibandingkan dengan KUHPdt/BW tidak terdapat perbedaan.
            Terhadap keabsahan dari anak, suami dapat manyangkalnya. Hal itu diatur dalam beberapa Pasal dari KUHPdt/BW antara lain Pasal 252, 253, 254, namun dalam hal-hal tertentu suami tidak dimungkinkan menggunakan ingkar tersebut, yaitu dalam hal:
1.      Suami sebelum perkawinan telah mengetahui bahwa istrinya telah mengandung.
2.      Pada waktu anak dilahirkan ia ikut hadir dan pada waktu akta dibuat ia ikut menandatangani akta itu.
3.      Anak tidak hidup waktu dilahirkan (Pasal 251 KUHPdt/BW).
Untuk membuktikan asal usul anak, dapat dilakukan dengan:
1.      Akta kelahiran yang autentik, yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang.
2.      Jika hal itu tidak ada, maka pengadilan dapat mengeluarkan penetapan tantang asal usul seorang anak setelah diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat.
3.      Atas dasar ketentuan pengadilan tersebut maka instansi pencatat kelahiran yang ada dalam daerah hukum pengadilan yang bersangkutan mengeluarkan akta kelahiran bagi anak yang bersangkutan.

            Anak luar kawin (anak tidak sah) menurut UU No.1/1974 tetap mempunyai hubungan hukum dengan ibunya dan keluarga ibunya, sedangkan dalam KUHPdt/BW hubungan hukum itu ada hanya dengan orang yang mengakuinya saja.

VI. Putusnya Perkawinan dan Akibatnya menurut UU No.1/1974 dan menurut KUHPdt/BW
A. Putusnya Perkawinan menurut UU No.1/1974 dan menurut KUHPdt/BW
            Mengenai putusnya perkawinan serta akibatnya diatur dalam Bab VIII UU No.1/1974, Pasal 38 sampai dengan 41. Salah satu penyebab putusnya perkawinan adalah kematian, perceraian, dan dapat pula karena putusan pengadilan.
            Menurut Pasal 199 KUHPdt/BW perkawinan bubar karena:
1.      Kematian.
2.      Keadaan tak hadir si suami/istri selama sepuluh tahun, diikuti dengan perkawinan baru suami/istri sesuai dengan ketentuan.
3.      Putusan hakim setelah adanya perpisahan meja dan ranjang dan pembukuan pernyataan bubarnya perkawinan yang dicatat oleh catatan sipil sesuai dengan ketentuan.
4.      Perceraian sesuai dengan ketentuan.
            Pasal 39 ayat (2) UU No.1/1974 serta Pasal 19 PP No.9/1975 memuat mengenai alas an-alasan yang dapat dijadikan dasar perceraian dan isinya antara kedua Pasal tersebut sama, yaitu :
a.       Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan sebagainya yang sukar disembuhkan.
b.      Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alas an yang sah atau karena hal lain diluar kemauannya.
c.       Salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d.      Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak lain.
e.       Antara suami istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
B. Akibat Putusnya Perkawinan menurut UU No.1/1974 dan menurut KUHPdt/BW

            Salah satu penyebab putusnya hubungan perkawinan adalah karena perceraian.
            Akibat putusnya perkawinan karena perceraian (terhadap anak/keturunannya):
a.       Ibu/bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bila mana ada perselisihan mengenai anak-anak pengadilan akan memutuskannya.
b.      Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak-anak, bila mana bapak dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
c.       Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri (Pasal 41 UU No.1/1974).
Bagi Pegawai Negeri Sipil, maka mengenai perceraian juga diatur dalam Surat Edaran No. 08/SE/1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil.

VII. Perkawinan Campuran dan Perkawinan di Luar Negeri

A. Pengertian Perkawinan Campuran menurut Stb/S 1898 No. 158 dan Menurut UU No. 1/1974

            Menurut Pasal 1 Stb/S 1898 No. 158 perkawinan campuran adalah orang-orang yang di Indonesia tunduk kepada hukum-hukum yang berlainan. dari pengertian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa untuk adanya perkawinan campuran maka harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :
1.      Harus ada perkawinan antara orang-orang yang berada di Indonesia.Tidak menunjukan secara tegas antara siapa-siapa perkawinan itu dilakukan, sehingga timbul kemungkinan :
a.       Perkawinan itu dilakukan antara warga negara Indonesia dengan warga negara asing di Indonesia.
b.      Perkawinan itu dilakukan antara warga negara asing dengan warga negara asing di Indonesia.
c.       Perkawinan itu dilaksanakan antara wqarga negara Indonesia di Indonesia.
2.      Tunduk pada hukum yang berlainan. Hal ini berarti bahwa bagi masing-masing pihak yang melangsungkan perkawinan, tunduk pada aturan hukum yang berbeda.
Menurut Pasal 57 UU No.1/1974 perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarga negaraan dan salah satu pihak berkewarganagaraan Indonesia.
Dari ketentuan Pasal tersebut maka suatu perkawinan dikatakan perkawinan campuran haruslah memenuhi unsur-unsur berikut :
1.      Perkawinan itu harus dilangsungkan diwilayah hukum Indonesia.
2.      Masing-masing pihak tunduk pada hukum yang berlainan yang disebabkan karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak harus warga negara Indonesia.
B. Tata Cara Perkawinan Campuran menurut Stb/S 1898 No. 158 dan Menurut UU No. 1/1974

            Syarat perkawinan campuran terdapat dalam Pasal 6 Stb/1898/158 yang berbunyi “perkawinan campuran dilangsungkan menurut hukum yang berlakubagi suami, kecuali izin dari kedua belah pihak bakal mempelai, yang selalu harus ada”.
            Sedangkan syarat-syarat perkawinan campuran menurut UU No.1/1974 tercantum dalam Pasal 59 ayat 2 dan tunduk pada ketentuan Pasal 6 sampai 12 UU No.1/1974 dan ketentuan-ketentuan lain yang diatur dalam Stb/S 1898 No. 158 maupun UU No. 1/1974.

C. Akibat Perkawinan Campuran menurut Stb/S 1898 No. 158 dan Menurut UU No. 1/1974

            Perkawinan campuran membawa akibat terhadap status kewarganegaraan suami istri serta keturunannya, terhadap harta kekayaan. Menurut Pasal 2 Stb/1898/158 bahwa seorang perempuan atau istri yang melakukan perkawinan campuran selama perkawinan itu belum putus, maka siperempuan atau istri tuduk kepada hukum yang berlaku untuk suaminya maupun hukum public dan hukum sipil (Saleh,1980,hlm.209; Tjokrowisastro,1985,hlm.209).
            Apabila salah satu pihak dalam perkawinan campuran beralih kewarganagaraanya mengikuti pihak lain sehingga terjadi kesamaan warga negara, maka ada dua kemungkinan :
1.      Apabila suami istri menjadi warga negara Indonesia maka anak-anak yang dilahirkan adalah menjadi warga negara Indonesia.
2.      Apabila suami istri menjadi warga negara asing, maka anak-anakny pun menjadi berkewarganegaraan asing. Namun jika undang-undang kewarganegaraan dari orang tuang menganut ius soli (asas kelahiran) sedangkan anak tadi lahir di Indonesia maka anak tadi menjadi berkewarganagaraan Indonesia (Pasal 7 sub 1, UU No. 62/1958).
D. Syarat-syarat Perkawinan di Luar Negeri
            Pasal 56 ayat 1 UU No.1/1974 menyebutkan ;
“Perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara dua orang warga negara Indonesia atau seorang warga negara Indonesia dengan warga negara asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara dimana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi warga negara Indonesia tidak melanggar ketentuan undang-undang ini”.
            Pasal tersebut mensyaratkan dua hal :
1.      Pelangsungan perkawinan harusmengindahkan cara hukum setempat dimana perkawinan itu akan dilangsungkan.
2.      Bagi calon suami/istri yang warga negara Indonesia tidak melanggar undang-undang no.1 tahun 1974.
Selanjutnya Pasal 56 ayat 2 menentukan bahwa:
“Dalam waktu satu tahun setelah suami istri itu kembali di wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan harus didaftarkan di kantor pencatatan perkawinan tempat tinggal mereka”.
            Didaftarkan berarti dicatat agar menjadikan peristiwa itu menjadi jelas baik bagi pihak yang bersangkutan maupun masyarakat, dahkan dapat menjadi alat bukti tulis yang autentik.







DAFTAR PUSTAKA

Suhardana, F.X., SH. Hukum Perdata I. Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 1992.

Prof.R. Subekti, SH. dan R. Tjitrosudibio. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta, PT    Pradnya Paramita,1999.